I. Ulasan
Berbagai Pendekatan Psikologi Mengenai Psikoterapi
a.
Pendekatan
Psikoanalisa di Dalam Psikoterapi
Psikoanalisa
adalah sebuah model perkembangan kepribadian yang dikembangkan oleh Sigmund
Freud, filsafat tentang sifat manusia dan model psikoterapi. Hasil dari ilmu
psikoanalisa mencangkup yang pertama adalah kehidupan mental individu menjadi
bisa dipahami, kemudian pemahaman terhadap sifat manusia bisa diterapkan pada
peredaran penderitaan manusia. Kedua,
adalah tingkah lakunya ditentukan oleh faktor-faktor tidak sadar. Ketiga, yaitu
perkembangan diri masa kanak-kanak memiliki pengaruh yang kuat terhadap
kepribadian di masa dewasa. Keempat,
yaitu teori psikoanalisis menyediakan kerangka kerja dalam yang berharga untuk
memahami cara-cara yang digunakan oleh individu dalam mengatasi suatu kecemasan
dengan mengandaikan adanya mekanisme-mekanisme yang bekerja untuk menghindari
luapan kecemasan. Dan yang kelima, pendekatan psikoanalisa telah memberikan
cara-cara mencari keterangan dari ketidaksadaran melalui analisis atas
mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan transverensi-transverensi.
Penerapan yang
dilakukan adalah pada saat orang yang tengah tidak sadarkan diri. Saat pasien
tidak sadar, pasien banyak yang menutup-nutupi ingatan yang menyedihkan. Karena
masalah inilah Frued melakukan pekerjaannya
yaitu, memeriksa ketidaksadaran serta menguak alasan resistensi pasien
tersebut. Cara yang biasanya dilakukan adalah melalui mimpi, hipnotis, dan
melamun. Untuk contoh penerapannya misalnya, seseorang yang mempunyai masalah
dikembalikan kepada kejadian masa lalu yang membuatnya terus merasa trauma
terhadap sesuatu, lalu dengan tuntunan hipnotis, seseorang itu dibiarkan tenang
dalam melamunkan masa lalunya itu. Dengan mengingatkannya tentang beberapa
kejadian yang dapat membuatnya sangat terpuruk, biarkan dia meluapkan
kesedihannya sejenak ketika dalam keadaan terhipnotis itu. Tak lama kemudian
barulah diberi motivasi untuk membuang masa lalunya yang suram itu, agar
dibuang sejauh mungkin dari dalam dirinya.
Penerapan
psikoanalisa sendiri terus berkembang hingga masa kini. Banyak intuisi
pendidikan, dan beberapa ahli hypnotic yang menggunakan kemampuannya
untuk membantu seseorang yang mempunyai masalah. Proses psikoanalisis
berlangsung lama dan biasanya membutuhkan 3 atau 4 sesi analitik setiap minggu
untuk suatu jangka waktu 2 atau 3 tahun atau bahkan juga bisa lebih lama lagi.
Selama sesi-sesi analitik, pasien berbaring di atas tempat tidur. Terapis yang
disebut psikoanalisis, biasa disebut analis, duduk di belakang pasien supaya
tidak menganggu pasien. Secara tradisional, analis memainkan peran yang pasif
dan tidak melakukan sesuatu selain hanya menunjukkan kesamaan dan perbedaan
dalam perasaan atau pengalaman yang mungkin perlu diperhatikan lebih lanjut
oleh pasien. Kadang-kadang analis memberikan penafsiran untuk membantu pasien
mencapai pemahaman tentang suatu konflik.
b.
Pendekatan
Psikologi Belajar di Dalam Psikoterapi
Behavioristik
merupakan salah satu pendekatan teoritis dan praktis mengenai model pengubahan
perilaku konseli dalam proses konseling dan psikoterapi. Pendekatan
behavioristik yang memiliki ciri khas pada makna belajar, conditioning yang
dirangkai dengan reinforcement menjadi pola efektif dalam mengubah
perilaku konseli. Pendekatan behavioristik menekankan pentingnya lingkungan
dalam proses pembentukan perilaku. Pendekatan ini bertujuan untuk menghilangkan
tingkah laku yang tidak sesuai, tidak sekedar mengganti simptom yang
dimanifestasikan dalam tingkah laku tertentu.
Peran konselor
dalam pendekatan behavioristik adalah aktif dan direktif, aktif untuk melakukan
intervensi dan membawa konseli dalam perubahan perilaku yang diharapkan,
sedangkan direktif dimaknai sebagai upaya konselor untuk memberikan arahan
secara langsung kepada konseli. Pendekatan krisis yang dilakukan oleh konselor
merupakan realisasi dari clinical therapeutic menjadi ciri utama dalam
pendekatan behavioristik. Dalam metode pengkondisian klasik, model yang sering
dipakai adalah disentisisasi sistematis, flooding,
dan hypnosis sedangkan di era
selanjutnya teknik yang digunakan adalah
self-management, shaping, modeling, role playing, assertiveness training.
Dalam proses
konseling, pendekatan behavior merupakan suatu proses di mana konselor membantu
konseli untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional dan keputusan
tertentu yang bertujuan ada perubahan perilaku pada konseli. Pemecahan masalah
dan kesulitannya dengan keterlibatan penuh dari konselor. Pendekatan
behavioristik dalam konseling dipengaruhi oleh kelebihan dan perilaku konseli,
jenis problematika, jenis penguatan yang dilakukan dan orang lain yang memiliki
arti tertentu bagi kehidupan konseli dalam perubahan perilakuknya. Dalam
pelaksanaannya, pendekatan behavioristik memiliki kontribusi yang cukup berarti
dalam konseling dan psikoterapi. Kelebihan pendekatan behavioristik adalah sebagai
salah satu komponen dalam mengembangkan konseling, mengembangkan perilaku
spesifik sebagai hasil konseling yang dapat diukur sebagai manifestasi dari
penetapan tujuan yang konkrit, memberikan ilustrasi bagaimana mengatasi
keterbatasan lingkungan, serta penekanan bahwa konseling hendaknya memusatkan
pada perilaku sekarang dan bukan kepada perilaku yang terjadi pada masa lalu.
Sementara itu kekurangan dari pendekatan behavioristik adalah kurang menyentuh
aspek pribadi, bersifat manipulatif dan mengabaikan hubungan antar pribadi,
lebih terkonsentrasi kepada teknik, seringkali pemilihan tujuan ditentukan oleh
konselor, konstruk belajar yang dikembangkan dan digunakan tidak cukup
komprehensif untuk menjelaskan belajar dan hanya dipandang sebagai suatu
hipotesis yang harus di tes, serta perubahan pada konseli hanya berupa gejala
yang dapat berpindah kepada bentuk perilaku lain.
c.
Pendekatan
Psikologi Humanistik di Dalam Psikoterapi
Pendekatan
humanistik merupakan salah satu landasan dasar untuk lebih menghargai
eksistensi apapun keadaannya. Dalam memandang manusia pendekatan humanistik
lebih penuh harapan dan optimistik. Dimana dalam setiap orang terdapat
potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif, sehingga
individu yang adjustment adalah individu yang terbebas dari asumsi-asumsi atau
sikap-sikap yang menyebabkan mereka tidak dapat menjalani hidup dengan
sepenuhnya atau tidak dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Pendekatan
humanistik berkonsentrasi pada hal yang dialami klien “sekarang dan di sini” (here
and now). Pendekatan humanistik berasumsi bahwa manusia memiliki
kecenderungan alamiah ke arah perkembangan emosional yang sehat.
Beberapa dasar pendekatan humanistik adalah sebagai berikut:
a. Praktisi
humanistik memiliki tujuan mempromosikan penerimaan diri dan kebebasan
personal.
b. Pendekatan
humanistik menggunakan terapi yang menengarai dan mengurangi ketidakkongruenan
antara pengalaman dan konsep diri.
c. Pendekatan
humanistik memandang bahwa hubungan konselor dan klien merupakan aspek sentral.
d. Dalam
pendekatan humanistik konselor berperan dalam membantu klien memperoleh
pendalaman-pendalaman eksperiensial dan penerimaan diri, sedangkan pendekatan
humanistik hanya berbicara sangat sedikit dalam penggunaan konsep condition
of worth.
e. Pendekatan
humanistik melihat manusia sebagai seseorang yang berusaha mengaktualisasikan
dirinya dan memiliki kecenderungan untuk mencapai arah perkembangan emosi yang
sehat.
Tujuan umum dari pendekatan ini adalah
mengembangkan kesadaran anak terhadap dirinya sendiri dan dunia sekitarnya,
serta meningkatkan kemampuan untuk menggunakan kesadaran ini dalam menghadapi
lingkungan dengan berbagai cara, menerima petunjuk-petunjuk internal dan
menerima tanggung jawab bagi setiap pilihan mereka (Rachmahana, 2008)
Peran konselor
dalam psikoterapi ini yaitu konselor menggunakan pribadinya sendiri. Mereka
harus terbuka, spontan, empatic, sensitive dan harus mendemonstrasikan
perhatian dan penerimaan. Mereka harus memperlakukan dengan terapi regresi dan
mengajari anggota keluarga keterampilan-keterampilan baru dalam
mengkomunikasikan perasaan-perasaan secara gamblang. Teknik yang digunakan
dalam terapi menggunakan pendekatan humanistik ini adalah dengan memperdalam
keterampilan-keterampilan
komunikasi terbuka, humor, terapi,
seni, keluarga, role-playing,
rekonstruksi keluarga, tidak memperhatikan teori-teori dan menekankan pada
intuitive spontan, berbagi perasaan dan membangun atmosfer emosional mendalam
dan memberi sugesti-sugesti serta arahan-arahan.
d.
Pendekatan Psikologi
Kognitif di Dalam Psikoterapi
Pendekatan
kognitif adalah suatu rancangan konseling atau pendekatan yang berfokus pada
berpikir dan proses mental dalam modifikasi atau mengubah tingkah laku dan
sering melibatkan pelatihan, pengembangan keterampilan, kontrol pikiran, serta
proses-proses dan teknik-teknik yang berorientasi kognitif lainnya (Mappiare,
2006). Sebagai suatu pendekatan
maka psikologi kognitif dapat dipandang sebagai cara tertentu di dalam
mendekati berbagai fenomena psikologi manusia. Konsep ini menekankan pada
peran-peran persepsi, pengetahuan, ingatan, dan proses-proses berpikir bagi
perilaku manusia.
Terapi kognitif
adalah terapi yang mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif, direktif dan
berjangka waktu singkat, untuk menghadapi berbagai hambatan dalam kepribadian,
misalnya, ansietas atau depresi. Terapi ini didasarkan pada teori bahwa afek
(keadaan emosi, perasaan) dan tindakan seseorang tersebut membentuk dunianya.
Jadi bagaimana seseorang berpikir, menentukan bagaimana perasaan dan reaksinya.
Gejala perilaku yang berkelainan atau menyimpang, beruhubungan erat dengan isi
pikiran. Dalam hal seperti ini, terapi kognitif dipergunakan untuk
mengidentifikasi, memperbaiki gejala perilaku yang tidak sesuai, dan fungsi
kognisi yang terhambat, yang mendasari aspek kognitifnya yang ada.
Menurut Burns
(1988), tujuan yang hendak dicapai dengan pendekatan kognitif, adalah:
1. Membangkitkan
pikiran-pikiran klien, dialog internal atau bicara dengan diri sendiri dan
melakukan interpretasi terhadap kejadian-kejadian yang dialami.
2. Bersamaan
dengan konselor, klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah
interpretasi-interpretasi yang telah diambil.
Terapis
dengan pendekatan kognitif mengajar pasien ata klien agar berpikir lebih
realistik dan sesuai sehingga dengan demikian akan menghilangkan atau mengurani
gejala yang berkelainan yang ada.
II. Berbagai
Kasus yang Bisa Ditangani Dengan Pendekatan-Pendekatan Psikologi
a.
Psikodinamik
Subjek : Pria eksekutif bisnis berusia
50 tahun
Permasalahan :
Seorang pria telah
menjalani terapi selama sekitar satu tahun, dengan keluhan depresi dan
kecemasan. Walaupun sangat sukses di mata keluarga dan rekan-rekannya, dia
merasa lemah dan tidak kompeten. Melalui banyak sesi asosiasi dan analisis
mimpi, analisis mulai menduga bahwa perasaan gagal yang dirasakan pasien
berakar dari pengalaman-pengalaman di masa kecilnya bersama ayah yang sangat
keras dan suka mengkritik, yang jauh lebih sukses dari si klien, yang tampaknya
tidak pernah puas dengan apapun yang diupayakan anaknya. Pembicaraan antara
klien dan analis pun diliputi dengan respon emosi oleh klien tersebut yaitu
dengan nada suara yang naik dan marah ketika berbicara yang pada akhirnya di
interpretasikan oleh analis sebagai ekspresi kemarahan pasien terhadap tekanan
dari sang ayah terhadapnya. Nada suara pasien (marah), seperti halnya reaksinya
yang berlebihan terhadap saran lembut dari analis untuk menceritakan mengapa ia
tidak ingin bicara, mengindikasikan bahwa pasien tidak ingin berbicara,
mengindikasikan bahwa pasien sebenarnya bukan marah kepada penganalisis, tetapi
kepada ayahnya. Terapis menilai ekspresi perasaan semacam itu, yaitu pasien
mengalihkan perasaan terhadap ayahnya kepada analis. Karena segala bentuk
pengungkapan kemarahan dan perasaan depresi klien adalah akibat berbagai
kejadian-kejadian masa kecilnya yang tidak diperlakukan dengan baik oleh ayah
kandungnya sendiri, sehingga ketika sudah semakin beranjak dewasa perasaan
kecewa tersebut semakin besar dan semakin tersimpan dalam alam bawah sadar
klien sehingga dia sering mengalami tekanan batin dan kecemasan dari berbagai
hal disekitarnya yang sebenarnya tidak mengancam dirinya.
b.
Behavioristik
Subjek
: Siswa SLB (Sekolah Luar Biasa) berusia 17 tahun
Kasus
:
Seorang siswa yang mengenyam pendidikan
di SLB Karya Asih Margorejo, siswa X ini termasuk pada klasifikasi tunadaksa
yakni club-hand (tangan seperti
tongkat). Siswa X ini adalah yang mengalami kecacatan fisik sejak lahir, siswa
ini memiliki kulit tubuh berwarna putih, postur tubuh tinggi, berambut hitam,
tinggi badan kurang lebih 165 cm, salah satu tangan siswa ini mengalami cacat
sejak lahir namun untuk kondisi fisik yang lainnya masih bisa berfungsi dengan
baik seperti anak normal pada umumnya. Siswa X ini hanya berangkat ke sekolah
namun tidak mau untuk melakukan keterampilan di sekolah, tidak mampu memakai
sepatu sendiri, dan tidak mampu untuk ke kamar kecil sendiri. Hal tersebut
kemungkinan disebabkan oleh karena selalu bergantung kepada orang lain, dan
orang tua dari siswa X ini lebih sering memperlakukan dengan sikap terlalu
melindungi secara berlebihan, sehingga menyebabkan ketergantungan, siswa ini
hanya mau bergaul dengan teman yang disukai saja. Hal-hal yang dialami siswa X
tersebut juga dapat diakibatkan oleh faktor internal yakni dari siswa itu
sendiri karena kurangnya kemauan untuk berubah dan faktor eksternal yakni
sering tidak masuk sekolah selama beberapa hari, apabila ayahnya keluar kota.
Oleh sebab itu, peneliti sekaligus konselor akan mencoba untuk memberikan
konseling dengan menggunakan pendekatan behaviour kepada siswa X karena dengan
pemberian konseling behaviour maka konselor bertujuan untuk merubah perilaku
siswa X yang tidak sesuai untuk membangun kemampuan yang bermanfaat dan merubah
perilaku yang tidak sesuai dengan harapan, dengan menggunakan teknik-tekhnik
yang ada di dalam konseling behaviour yang sesuai dengan masalah yang dialami
konseli.
c.
Humanistik
Subjek
: Anak laki-laki berusia 5 tahun
Kasus :
Pada contoh kasus kali ini ada seorang
anak yang mengalami stigma dalam hidupnya, Stigma itu sendiri adalah perilaku
maupun kepercayaan yang salah terhadap seseorang ataupun sesuatu. Seorang anak
tersebut telah menderita HIV/AIDS dari kecil yang ditularkan oleh orangtuanya. Seorang
anak yang menderita HIV positif , sebut saja Amir, 5 tahun (bukan nama
sebenarnya) mengatakan, “Saya tidak punya teman main, setiap hari saya bermain
sendiri di rumah. Akibat dari stigma ini akan muncul diskriminasi terhadap diri
Amir. Diskriminasi adalah perlakuan terhadap individu atau kelompok dengan
sikap memihak atau prasangka buruk. Seperti halnya Amir bercerita “teman-teman
tidak mau saya ajak bermain bersama, walaupun saya punya mainan baru”. Ibu Amir
yang ternyata mengidap HIV positif akibat tertular suaminya mengatakan, “Sejak
tetangga tahu bahwa saya dan Amir terkena HIV, tetangga membatasi pergaulan
dengan saya. Suatu saat ketika saya mendapat giliran mengadakan tahlilan,
tidak ada tetangga yang datang dan hantaran makanan yang disediakan untuk
tetangga juga langsung dibuang oleh tetangga saya”. Khusus pada persoalan anak,
adalah hal yang tidak mudah untuk menyampaikan tentang sikap masyarakat yang
menolak kehadiran mereka. Ibarat buah simalakama, ketika status HIV anak dibuka,
maka bisa jadi stigma yang ada akan semakin kuat dan perilaku diskriminatif
juga semakin nyata. Namun apabila tidak disampaikan, maka dapat menimbulkan
kerugian pada lingkungan di sekitar anak (terutama teman-teman bermain) juga si
anak sendiri. Dari sini jelas bahwa stigma bukanlah hal yang mudah untuk
dihadapi apalagi ditanggulangi. Namun apapun itu, upaya harus tetap dilakukan
karena anak-anak adalah korban, mereka berhak untuk hidup secara normal dan
berhak untuk memiliki masa depan yang cerah sebagaimana anak-anak yang lain.
d.
Kognitif
Subjek : Siswa SMP
Permasalahan :
Sebuah
SMP swasta di Yogyakarta yang siswanya melakukan kecenderungan perilaku
delinkuen. Perilaku delingkuen adalah perilaku negatif, menentang, tidak patuh
dan perilaku bermusuhan terhadap otoritas. Sementara itu, fitur penting dari
kedelinkuesian adalah perilaku melanggar hak orang lain serta norma sosial yang
dilakukan secara berulang dan terus menerus.
Beberapa siswa disekolah itu sering melakukan perilaku delinkuen.
Beberapa orang guru di sekolah tersebut yang sering mengamati dan melihat
perilaku siswanya, seperti merokok, bolos sekolah, bolos pada jam pelajaran
tertentu, berpenampilan tidak rapi, tidak mengikuti PBM (Proses Belajar
Mengajar) dengan baik, dan berkata kasar. Beberapa fenomena diatas
memperlihatkan tingginya kecenderungan siswa melakukan perilaku delinkuen. Oleh
sebab itu perlu dilakukan penanganan psikologis dengan intervensi yang tepat
untuk mengurangi perilaku tersebut. Penanganan yang tepat terhadap kasus remaja
delingkuen tersebut adalah menggunakan pendekatan psikologi kognitif karena hal
ini difokuskan pada faktor kognisi yang diasumsikan sebagai salah satu penyebab
perilaku delingkuen. Karena pada dasarnya remaja delinkuen biasanya lebih ambivalen
terhadap otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai kontrol diri yang
kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan dan kurangnya kemasakan
sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosial. Di samping itu mereka juga memiliki disiplin yang rendah sehingga
cenderung melawan peraturan yang ada disekitarnya, baik lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat.
III. Alasan
Mengapa Kasus-Kasus Tersebut Bisa Ditangani Oleh Berbagai Pendekatan Psikologi
a.
Psikodinamik
Untuk kasus seorang pria eksekutif
bisnis berusia 50 yang telah menjalani terapi selama sekitar satu tahun, dengan
keluhan depresi dan kecemasan dan menjadi mudah emosional dapat ditangani
dengan pendekatan psikologi psikoanalisa alasannya karena ilmu psikoanalisa itu
sendiri mencangkup kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, kemudian
pemahaman terhadap sifat manusia bisa diterapkan pada penderitaan atau
gangguan-gangguan psikis manusia, seperti halnya keluhan depresi dan kecemasan
yang dialamin seorang pria tersebut. Selain itu pendekatan psikoanalisis
menyediakan kerangka kerja yang tepat untuk memahami cara-cara yang digunakan
oleh individu dalam mengatasi suatu kecemasan dengan mengandaikan adanya
mekanisme-mekanisme yang bekerja untuk menghindari luapan kecemasan. Sedangkan
untuk keluhan depresi yang dialami oleh klien itu sendiri dapat diselesaikan
dengan psikoanalisa, karena depresi merupakan gangguan mood dan pendekatan
psikoanalisa dapat menitikberatkan pada konflik bawah alam sadar yang
berhubungan dengan duka dan kehilangan.
b.
Behavioristik
Berdasarkan kasus siswa SLB berusia 17
tahun yang termasuk pada klasifikasi tunadaksa yakni club-hand (tangan seperti tongkat) dan memiliki ketergantungan
penuh terhadap orang lain. Dengan adanya masalah di atas, maka peneliti
melaksanakan terapi ingin merubah perilaku maladaptif siswa tersebut sehingga
diharapkan mampu melakukan segala kegiatan sehari hari tanpa selalu bergantung
kepada orang lain dan mau untuk melakukan keterampilan di sekolah, agar
nantinya siswa ini mampu terjun ke dalam masyarakat dengan baik. Dan dengan
pendekatan behavior ini konselor membantu orang (konseli) belajar atau mengubah
perilaku. Konselor berperan membantu dalam proses belajar menciptakan kondisi
yang sedemikian rupa sehingga klien dapat merubah perilakunya serta memecahkan
masalahnya yag tentu saja diselingi dengan pemberian motivasi terhadap siswa
tersebut. Oleh sebab itu siswa SLB yang mengalami club-hand (tangan seperti tongkat) tersebut dapat mengembangkan life skill nya dengan tidak selalu dan
terus-menerus bergantung terhadap orang lain dan dapat membangun kemam[uan yang
bermanfaat sesuai dengan tujuan konseli behavior
dengan menggunakan teknik-teknik konseling khusus behavior yang diharapkan
dapat memaksimalkan proses konseling yang nantinya dapat berdampak baik bagi
konseli untuk merubah perilaku yang tidak sesuai.
c.
Humanistik
Pada kasus anak laki-laki berusia 5
tahun yang mengalami stigma dalam hidupnya, karena seorang anak tersebut telah
menderita HIV/AIDS dari kecil yang ditularkan oleh orangtuanya dapat ditangani
dengan pendekatan-pendekatan psikologi, salah satunya adalah humanistik, karena
Pendekatan humanistik merupakan salah satu landasan dasar untuk lebih
menghargai eksistensi anak apapun keadaannya. Khusus pada persoalan anak,
adalah hal yang tidak mudah untuk menyampaikan tentang sikap masyarakat yang
menolak kehadiran mereka. Ibarat buah simalakama, ketika status HIV anak
dibuka, maka bisa jadi stigma yang ada akan semakin kuat dan perilaku
diskriminatif juga semakin nyata. Namun apabila tidak disampaikan, maka dapat
menimbulkan kerugian pada lingkungan di sekitar anak (terutama teman-teman
bermain) si anak sendiri juga. Dari sini jelas bahwa stigma bukanlah hal yang
mudah untuk dihadapi apalagi ditanggulangi. Di dalam konseling pendekatan
psikologi humanistik ini telah terdapat layanan VCT (Voluntary Counselling and
Testing) yang dapat memberi dukungan kepada penderita baik secara medis,
psikologis dan sosial. VCT merupakan pintu masuk menuju terapi dan perawatan.
Setelah penderita mendapatkan informasi hasil tesnya dari klinik VCT, maka pada
tahapan berikutnya, penderita akan mendapatkan dukungan perawatan berupa
perawatan medis melaui terapi antiretroviral (ARV), pengobatan infeksi
oportunistik , pelayanan gizi maupun dukungan psikologis serta akses layanan
lainnya sesuai kebutuhan penderita. Layanan klinik Voluntary Counselling and
Testing (VCT) dengan pendekatan prevensi merupakan pintu gerbang bagi pelayanan
medik dimana konselor memberikan berbagai bentuk dukungan dan penanganan psikis
bagi penderita HIV/AIDS.
d.
Kognitif
Untuk kasus terhadap beberapa siswa SMP
swasta di Yogyakarta yang siswanya melakukan kecenderungan perilaku delinkuen,
hal tersebut paling tepat ditangani dengan pendekatan konseling psikologi
kognitif, karena untuk mengurangi kecenderungan perilaku delinkuen pada remaja,
maka alternatif yang diberikan adalah intervensi melalui pendekatan kognitif.
Penelitian ini difokuskan pada faktor kognisi yang diasumsikan sebagai salah
satu penyebab perilaku delinkuen. Perspektif kognitif mengungkapkan bahwa
manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional.
Pemikiran yang irasional dapat mendorong timbulnya gangguan emosi dan perilaku.
Pendekatan kognitif efektif untuk mengembangkan perilaku positif dan mengurangi
pemikiran irasional yang menimbulkan perilaku kriminal. Konselor mengarahkan
dan membimbing subjek untuk mampu memahami tentang kenakalan remaja melalui
pendekatan kognitif untuk mengurangi perilaku delinkuennya sehingga mereka
dapat perlahan merubah perilakunya dan berusaha untuk berpikir positif,
sehingga perilaku delinkuen yang dilakukan akan mengalami penurunan. Pendekatan
kognitif akan diberikan di dalam kelompok, karena di dalam kelompok akan
terjadi proses interaksi antar remaja. Melalui pendekatan kognitif diharapkan
remaja mampu memperbaiki pola pikir negatif mereka, adanya pikiran baru akan
mendorong mereka untuk tidak lagi secara emosional dan berperilaku delinkuen
dalam menghadapi peristiwa dan menyelesaikan permasalahan kehidupan.
Referensi:
Achmat, Z, &
Pramono, A. (2015). Intervention of
Care Support Treatment which
Children with HIV/AIDS as the Target: A Humanistic Approach Model for
Children and the Environment in Facing Stigma. Jurnal Perempuan dan Anak,
1, 1-7.
Hartati, S.
(2012). Pendekatan Kognitif Untuk Menurunkan Kecenderungan Perilaku
Deliquensi
Pada Remaja. Jurnal Psikologi Islam,
11, 123-146.
Sanyata, S.
(2012). Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling.
Jurnal Paradigma, 7, 1-11.
Corey, Gerald. (1997).
Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
Refika
Aditama.
Corsini,
Raymond. (2003). Psikoterapi Dewasa
Ini. Surabaya: Ikon Teralitera.
Freud, Sigmund.
(1984). Memperkenalkan Psikoanalisa Lima Ceramah. Jakarta:
Gramedia.
Corey, General. (2005). Teori
dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
Refika Aditama.
Gunarsa, Singgih
D. (2007). Konseling dan Psikoterapi.
Jakarta: Gunung Mulia.
Sobur, Alex.
(2003). Psikologi Umum. Bandung: Grafindo Persada.
Semium,
Yustinus. (2006). Kesehatan Mental 2.
Yogyakarta: Kanisius.
Nevid, Jeffrey S, dkk. (2003). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar