Kamis, 02 April 2015

Tugas 1 : Pendekatan Psikologi Mengenai Psikoterapi

I.     Ulasan Berbagai Pendekatan Psikologi Mengenai Psikoterapi

a.      Pendekatan Psikoanalisa di Dalam Psikoterapi
Psikoanalisa adalah sebuah model perkembangan kepribadian yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, filsafat tentang sifat manusia dan model psikoterapi. Hasil dari ilmu psikoanalisa mencangkup yang pertama adalah kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, kemudian pemahaman terhadap sifat manusia bisa diterapkan pada peredaran penderitaan manusia.  Kedua, adalah tingkah lakunya ditentukan oleh faktor-faktor tidak sadar. Ketiga, yaitu perkembangan diri masa kanak-kanak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kepribadian di masa dewasa.  Keempat, yaitu teori psikoanalisis menyediakan kerangka kerja dalam yang berharga untuk memahami cara-cara yang digunakan oleh individu dalam mengatasi suatu kecemasan dengan mengandaikan adanya mekanisme-mekanisme yang bekerja untuk menghindari luapan kecemasan. Dan yang kelima, pendekatan psikoanalisa telah memberikan cara-cara mencari keterangan dari ketidaksadaran melalui analisis atas mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan transverensi-transverensi.
Penerapan yang dilakukan adalah pada saat orang yang tengah tidak sadarkan diri. Saat pasien tidak sadar, pasien banyak yang menutup-nutupi ingatan yang menyedihkan. Karena masalah inilah Frued melakukan pekerjaannya  yaitu, memeriksa ketidaksadaran serta menguak alasan resistensi pasien tersebut. Cara yang biasanya dilakukan adalah melalui mimpi, hipnotis, dan melamun. Untuk contoh penerapannya misalnya, seseorang yang mempunyai masalah dikembalikan kepada kejadian masa lalu yang membuatnya terus merasa trauma terhadap sesuatu, lalu dengan tuntunan hipnotis, seseorang itu dibiarkan tenang dalam melamunkan masa lalunya itu. Dengan mengingatkannya tentang beberapa kejadian yang dapat membuatnya sangat terpuruk, biarkan dia meluapkan kesedihannya sejenak ketika dalam keadaan terhipnotis itu. Tak lama kemudian barulah diberi motivasi untuk membuang masa lalunya yang suram itu, agar dibuang sejauh mungkin dari dalam dirinya.
Penerapan psikoanalisa sendiri terus berkembang hingga masa kini. Banyak intuisi pendidikan, dan beberapa ahli hypnotic yang menggunakan kemampuannya untuk membantu seseorang yang mempunyai masalah. Proses psikoanalisis berlangsung lama dan biasanya membutuhkan 3 atau 4 sesi analitik setiap minggu untuk suatu jangka waktu 2 atau 3 tahun atau bahkan juga bisa lebih lama lagi. Selama sesi-sesi analitik, pasien berbaring di atas tempat tidur. Terapis yang disebut psikoanalisis, biasa disebut analis, duduk di belakang pasien supaya tidak menganggu pasien. Secara tradisional, analis memainkan peran yang pasif dan tidak melakukan sesuatu selain hanya menunjukkan kesamaan dan perbedaan dalam perasaan atau pengalaman yang mungkin perlu diperhatikan lebih lanjut oleh pasien. Kadang-kadang analis memberikan penafsiran untuk membantu pasien mencapai pemahaman tentang suatu konflik.

b.      Pendekatan Psikologi Belajar di Dalam Psikoterapi
Behavioristik merupakan salah satu pendekatan teoritis dan praktis mengenai model pengubahan perilaku konseli dalam proses konseling dan psikoterapi. Pendekatan behavioristik yang memiliki ciri khas pada makna belajar, conditioning yang dirangkai dengan reinforcement menjadi pola efektif dalam mengubah perilaku konseli. Pendekatan behavioristik menekankan pentingnya lingkungan dalam proses pembentukan perilaku. Pendekatan ini bertujuan untuk menghilangkan tingkah laku yang tidak sesuai, tidak sekedar mengganti simptom yang dimanifestasikan dalam tingkah laku tertentu.
Peran konselor dalam pendekatan behavioristik adalah aktif dan direktif, aktif untuk melakukan intervensi dan membawa konseli dalam perubahan perilaku yang diharapkan, sedangkan direktif dimaknai sebagai upaya konselor untuk memberikan arahan secara langsung kepada konseli. Pendekatan krisis yang dilakukan oleh konselor merupakan realisasi dari clinical therapeutic menjadi ciri utama dalam pendekatan behavioristik. Dalam metode pengkondisian klasik, model yang sering dipakai adalah disentisisasi sistematis, flooding, dan hypnosis sedangkan di era selanjutnya teknik yang digunakan adalah self-management, shaping, modeling, role playing, assertiveness training.
Dalam proses konseling, pendekatan behavior merupakan suatu proses di mana konselor membantu konseli untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional dan keputusan tertentu yang bertujuan ada perubahan perilaku pada konseli. Pemecahan masalah dan kesulitannya dengan keterlibatan penuh dari konselor. Pendekatan behavioristik dalam konseling dipengaruhi oleh kelebihan dan perilaku konseli, jenis problematika, jenis penguatan yang dilakukan dan orang lain yang memiliki arti tertentu bagi kehidupan konseli dalam perubahan perilakuknya. Dalam pelaksanaannya, pendekatan behavioristik memiliki kontribusi yang cukup berarti dalam konseling dan psikoterapi. Kelebihan pendekatan behavioristik adalah sebagai salah satu komponen dalam mengembangkan konseling, mengembangkan perilaku spesifik sebagai hasil konseling yang dapat diukur sebagai manifestasi dari penetapan tujuan yang konkrit, memberikan ilustrasi bagaimana mengatasi keterbatasan lingkungan, serta penekanan bahwa konseling hendaknya memusatkan pada perilaku sekarang dan bukan kepada perilaku yang terjadi pada masa lalu. Sementara itu kekurangan dari pendekatan behavioristik adalah kurang menyentuh aspek pribadi, bersifat manipulatif dan mengabaikan hubungan antar pribadi, lebih terkonsentrasi kepada teknik, seringkali pemilihan tujuan ditentukan oleh konselor, konstruk belajar yang dikembangkan dan digunakan tidak cukup komprehensif untuk menjelaskan belajar dan hanya dipandang sebagai suatu hipotesis yang harus di tes, serta perubahan pada konseli hanya berupa gejala yang dapat berpindah kepada bentuk perilaku lain.

c.       Pendekatan Psikologi Humanistik di Dalam Psikoterapi
Pendekatan humanistik merupakan salah satu landasan dasar untuk lebih menghargai eksistensi apapun keadaannya. Dalam memandang manusia pendekatan humanistik lebih penuh harapan dan optimistik. Dimana dalam setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif, sehingga individu yang adjustment adalah individu yang terbebas dari asumsi-asumsi atau sikap-sikap yang menyebabkan mereka tidak dapat menjalani hidup dengan sepenuhnya atau tidak dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Pendekatan humanistik berkonsentrasi pada hal yang dialami klien “sekarang dan di sini” (here and now). Pendekatan humanistik berasumsi bahwa manusia memiliki kecenderungan alamiah ke arah perkembangan emosional yang sehat. Beberapa dasar pendekatan humanistik adalah sebagai berikut:

a.    Praktisi humanistik memiliki tujuan mempromosikan penerimaan diri dan kebebasan personal.

b.   Pendekatan humanistik menggunakan terapi yang menengarai dan mengurangi ketidakkongruenan antara pengalaman dan konsep diri.

c.    Pendekatan humanistik memandang bahwa hubungan konselor dan klien merupakan aspek sentral.

d.   Dalam pendekatan humanistik konselor berperan dalam membantu klien memperoleh pendalaman-pendalaman eksperiensial dan penerimaan diri, sedangkan pendekatan humanistik hanya berbicara sangat sedikit dalam penggunaan konsep condition of worth.

e.    Pendekatan humanistik melihat manusia sebagai seseorang yang berusaha mengaktualisasikan dirinya dan memiliki kecenderungan untuk mencapai arah perkembangan emosi yang sehat.
Tujuan umum dari pendekatan ini adalah mengembangkan kesadaran anak terhadap dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, serta meningkatkan kemampuan untuk menggunakan kesadaran ini dalam menghadapi lingkungan dengan berbagai cara, menerima petunjuk-petunjuk internal dan menerima tanggung jawab bagi setiap pilihan mereka (Rachmahana, 2008)
Peran konselor dalam psikoterapi ini yaitu konselor menggunakan pribadinya sendiri. Mereka harus terbuka, spontan, empatic, sensitive dan harus mendemonstrasikan perhatian dan penerimaan. Mereka harus memperlakukan dengan terapi regresi dan mengajari anggota keluarga keterampilan-keterampilan baru dalam mengkomunikasikan perasaan-perasaan secara gamblang. Teknik yang digunakan dalam terapi menggunakan pendekatan humanistik ini adalah dengan memperdalam keterampilan-keterampilan  komunikasi  terbuka, humor, terapi, seni, keluarga, role-playing, rekonstruksi keluarga, tidak memperhatikan teori-teori dan menekankan pada intuitive spontan, berbagi perasaan dan membangun atmosfer emosional mendalam dan memberi sugesti-sugesti serta arahan-arahan.

d.      Pendekatan Psikologi Kognitif di Dalam Psikoterapi
Pendekatan kognitif adalah suatu rancangan konseling atau pendekatan yang berfokus pada berpikir dan proses mental dalam modifikasi atau mengubah tingkah laku dan sering melibatkan pelatihan, pengembangan keterampilan, kontrol pikiran, serta proses-proses dan teknik-teknik yang berorientasi kognitif lainnya (Mappiare, 2006). Sebagai suatu pendekatan maka psikologi kognitif dapat dipandang sebagai cara tertentu di dalam mendekati berbagai fenomena psikologi manusia. Konsep ini menekankan pada peran-peran persepsi, pengetahuan, ingatan, dan proses-proses berpikir bagi perilaku manusia.
Terapi kognitif adalah terapi yang mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif, direktif dan berjangka waktu singkat, untuk menghadapi berbagai hambatan dalam kepribadian, misalnya, ansietas atau depresi. Terapi ini didasarkan pada teori bahwa afek (keadaan emosi, perasaan) dan tindakan seseorang tersebut membentuk dunianya. Jadi bagaimana seseorang berpikir, menentukan bagaimana perasaan dan reaksinya. Gejala perilaku yang berkelainan atau menyimpang, beruhubungan erat dengan isi pikiran. Dalam hal seperti ini, terapi kognitif dipergunakan untuk mengidentifikasi, memperbaiki gejala perilaku yang tidak sesuai, dan fungsi kognisi yang terhambat, yang mendasari aspek kognitifnya yang ada.
Menurut Burns (1988), tujuan yang hendak dicapai dengan pendekatan kognitif, adalah:
1.       Membangkitkan pikiran-pikiran klien, dialog internal atau bicara dengan diri sendiri dan melakukan interpretasi terhadap kejadian-kejadian yang dialami.
2.  Bersamaan dengan konselor, klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah interpretasi-interpretasi yang telah diambil.
            Terapis dengan pendekatan kognitif mengajar pasien ata klien agar berpikir lebih realistik dan sesuai sehingga dengan demikian akan menghilangkan atau mengurani gejala yang berkelainan yang ada.

II.  Berbagai Kasus yang Bisa Ditangani Dengan Pendekatan-Pendekatan Psikologi

a.      Psikodinamik
Subjek : Pria eksekutif bisnis berusia 50 tahun
Permasalahan :
Seorang pria telah menjalani terapi selama sekitar satu tahun, dengan keluhan depresi dan kecemasan. Walaupun sangat sukses di mata keluarga dan rekan-rekannya, dia merasa lemah dan tidak kompeten. Melalui banyak sesi asosiasi dan analisis mimpi, analisis mulai menduga bahwa perasaan gagal yang dirasakan pasien berakar dari pengalaman-pengalaman di masa kecilnya bersama ayah yang sangat keras dan suka mengkritik, yang jauh lebih sukses dari si klien, yang tampaknya tidak pernah puas dengan apapun yang diupayakan anaknya. Pembicaraan antara klien dan analis pun diliputi dengan respon emosi oleh klien tersebut yaitu dengan nada suara yang naik dan marah ketika berbicara yang pada akhirnya di interpretasikan oleh analis sebagai ekspresi kemarahan pasien terhadap tekanan dari sang ayah terhadapnya. Nada suara pasien (marah), seperti halnya reaksinya yang berlebihan terhadap saran lembut dari analis untuk menceritakan mengapa ia tidak ingin bicara, mengindikasikan bahwa pasien tidak ingin berbicara, mengindikasikan bahwa pasien sebenarnya bukan marah kepada penganalisis, tetapi kepada ayahnya. Terapis menilai ekspresi perasaan semacam itu, yaitu pasien mengalihkan perasaan terhadap ayahnya kepada analis. Karena segala bentuk pengungkapan kemarahan dan perasaan depresi klien adalah akibat berbagai kejadian-kejadian masa kecilnya yang tidak diperlakukan dengan baik oleh ayah kandungnya sendiri, sehingga ketika sudah semakin beranjak dewasa perasaan kecewa tersebut semakin besar dan semakin tersimpan dalam alam bawah sadar klien sehingga dia sering mengalami tekanan batin dan kecemasan dari berbagai hal disekitarnya yang sebenarnya tidak mengancam dirinya.

b.      Behavioristik
Subjek : Siswa SLB (Sekolah Luar Biasa) berusia 17 tahun
Kasus :
Seorang siswa yang mengenyam pendidikan di SLB Karya Asih Margorejo, siswa X ini termasuk pada klasifikasi tunadaksa yakni club-hand (tangan seperti tongkat). Siswa X ini adalah yang mengalami kecacatan fisik sejak lahir, siswa ini memiliki kulit tubuh berwarna putih, postur tubuh tinggi, berambut hitam, tinggi badan kurang lebih 165 cm, salah satu tangan siswa ini mengalami cacat sejak lahir namun untuk kondisi fisik yang lainnya masih bisa berfungsi dengan baik seperti anak normal pada umumnya. Siswa X ini hanya berangkat ke sekolah namun tidak mau untuk melakukan keterampilan di sekolah, tidak mampu memakai sepatu sendiri, dan tidak mampu untuk ke kamar kecil sendiri. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh karena selalu bergantung kepada orang lain, dan orang tua dari siswa X ini lebih sering memperlakukan dengan sikap terlalu melindungi secara berlebihan, sehingga menyebabkan ketergantungan, siswa ini hanya mau bergaul dengan teman yang disukai saja. Hal-hal yang dialami siswa X tersebut juga dapat diakibatkan oleh faktor internal yakni dari siswa itu sendiri karena kurangnya kemauan untuk berubah dan faktor eksternal yakni sering tidak masuk sekolah selama beberapa hari, apabila ayahnya keluar kota. Oleh sebab itu, peneliti sekaligus konselor akan mencoba untuk memberikan konseling dengan menggunakan pendekatan behaviour kepada siswa X karena dengan pemberian konseling behaviour maka konselor bertujuan untuk merubah perilaku siswa X yang tidak sesuai untuk membangun kemampuan yang bermanfaat dan merubah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan, dengan menggunakan teknik-tekhnik yang ada di dalam konseling behaviour yang sesuai dengan masalah yang dialami konseli.

c.       Humanistik
Subjek : Anak laki-laki berusia 5 tahun
Kasus :
Pada contoh kasus kali ini ada seorang anak yang mengalami stigma dalam hidupnya, Stigma itu sendiri adalah perilaku maupun kepercayaan yang salah terhadap seseorang ataupun sesuatu. Seorang anak tersebut telah menderita HIV/AIDS dari kecil yang ditularkan oleh orangtuanya. Seorang anak yang menderita HIV positif , sebut saja Amir, 5 tahun (bukan nama sebenarnya) mengatakan, “Saya tidak punya teman main, setiap hari saya bermain sendiri di rumah. Akibat dari stigma ini akan muncul diskriminasi terhadap diri Amir. Diskriminasi adalah perlakuan terhadap individu atau kelompok dengan sikap memihak atau prasangka buruk. Seperti halnya Amir bercerita “teman-teman tidak mau saya ajak bermain bersama, walaupun saya punya mainan baru”. Ibu Amir yang ternyata mengidap HIV positif akibat tertular suaminya mengatakan, “Sejak tetangga tahu bahwa saya dan Amir terkena HIV, tetangga membatasi pergaulan dengan saya. Suatu saat ketika saya mendapat giliran mengadakan tahlilan, tidak ada tetangga yang datang dan hantaran makanan yang disediakan untuk tetangga juga langsung dibuang oleh tetangga saya”. Khusus pada persoalan anak, adalah hal yang tidak mudah untuk menyampaikan tentang sikap masyarakat yang menolak kehadiran mereka. Ibarat buah simalakama, ketika status HIV anak dibuka, maka bisa jadi stigma yang ada akan semakin kuat dan perilaku diskriminatif juga semakin nyata. Namun apabila tidak disampaikan, maka dapat menimbulkan kerugian pada lingkungan di sekitar anak (terutama teman-teman bermain) juga si anak sendiri. Dari sini jelas bahwa stigma bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi apalagi ditanggulangi. Namun apapun itu, upaya harus tetap dilakukan karena anak-anak adalah korban, mereka berhak untuk hidup secara normal dan berhak untuk memiliki masa depan yang cerah sebagaimana anak-anak yang lain.

d.      Kognitif
Subjek : Siswa SMP
Permasalahan :
Sebuah  SMP swasta di Yogyakarta yang siswanya melakukan kecenderungan perilaku delinkuen. Perilaku delingkuen adalah perilaku negatif, menentang, tidak patuh dan perilaku bermusuhan terhadap otoritas. Sementara itu, fitur penting dari kedelinkuesian adalah perilaku melanggar hak orang lain serta norma sosial yang dilakukan secara berulang dan terus menerus.  Beberapa siswa disekolah itu sering melakukan perilaku delinkuen. Beberapa orang guru di sekolah tersebut yang sering mengamati dan melihat perilaku siswanya, seperti merokok, bolos sekolah, bolos pada jam pelajaran tertentu, berpenampilan tidak rapi, tidak mengikuti PBM (Proses Belajar Mengajar) dengan baik, dan berkata kasar. Beberapa fenomena diatas memperlihatkan tingginya kecenderungan siswa melakukan perilaku delinkuen. Oleh sebab itu perlu dilakukan penanganan psikologis dengan intervensi yang tepat untuk mengurangi perilaku tersebut. Penanganan yang tepat terhadap kasus remaja delingkuen tersebut adalah menggunakan pendekatan psikologi kognitif karena hal ini difokuskan pada faktor kognisi yang diasumsikan sebagai salah satu penyebab perilaku delingkuen. Karena pada dasarnya remaja delinkuen biasanya lebih ambivalen terhadap otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai kontrol diri yang kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan dan kurangnya kemasakan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Di samping itu mereka juga memiliki disiplin yang rendah sehingga cenderung melawan peraturan yang ada disekitarnya, baik lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

III.   Alasan Mengapa Kasus-Kasus Tersebut Bisa Ditangani Oleh Berbagai Pendekatan Psikologi

a.      Psikodinamik
Untuk kasus seorang pria eksekutif bisnis berusia 50 yang telah menjalani terapi selama sekitar satu tahun, dengan keluhan depresi dan kecemasan dan menjadi mudah emosional dapat ditangani dengan pendekatan psikologi psikoanalisa alasannya karena ilmu psikoanalisa itu sendiri mencangkup kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, kemudian pemahaman terhadap sifat manusia bisa diterapkan pada penderitaan atau gangguan-gangguan psikis manusia, seperti halnya keluhan depresi dan kecemasan yang dialamin seorang pria tersebut. Selain itu pendekatan psikoanalisis menyediakan kerangka kerja yang tepat untuk memahami cara-cara yang digunakan oleh individu dalam mengatasi suatu kecemasan dengan mengandaikan adanya mekanisme-mekanisme yang bekerja untuk menghindari luapan kecemasan. Sedangkan untuk keluhan depresi yang dialami oleh klien itu sendiri dapat diselesaikan dengan psikoanalisa, karena depresi merupakan gangguan mood dan pendekatan psikoanalisa dapat menitikberatkan pada konflik bawah alam sadar yang berhubungan dengan duka dan kehilangan.

b.      Behavioristik
Berdasarkan kasus siswa SLB berusia 17 tahun yang termasuk pada klasifikasi tunadaksa yakni club-hand (tangan seperti tongkat) dan memiliki ketergantungan penuh terhadap orang lain. Dengan adanya masalah di atas, maka peneliti melaksanakan terapi ingin merubah perilaku maladaptif siswa tersebut sehingga diharapkan mampu melakukan segala kegiatan sehari hari tanpa selalu bergantung kepada orang lain dan mau untuk melakukan keterampilan di sekolah, agar nantinya siswa ini mampu terjun ke dalam masyarakat dengan baik. Dan dengan pendekatan behavior ini konselor membantu orang (konseli) belajar atau mengubah perilaku. Konselor berperan membantu dalam proses belajar menciptakan kondisi yang sedemikian rupa sehingga klien dapat merubah perilakunya serta memecahkan masalahnya yag tentu saja diselingi dengan pemberian motivasi terhadap siswa tersebut. Oleh sebab itu siswa SLB yang mengalami club-hand (tangan seperti tongkat) tersebut dapat mengembangkan life skill nya dengan tidak selalu dan terus-menerus bergantung terhadap orang lain dan dapat membangun kemam[uan yang bermanfaat sesuai dengan tujuan konseli behavior dengan menggunakan teknik-teknik konseling khusus behavior yang diharapkan dapat memaksimalkan proses konseling yang nantinya dapat berdampak baik bagi konseli untuk merubah perilaku yang tidak sesuai.

c.       Humanistik
Pada kasus anak laki-laki berusia 5 tahun yang mengalami stigma dalam hidupnya, karena seorang anak tersebut telah menderita HIV/AIDS dari kecil yang ditularkan oleh orangtuanya dapat ditangani dengan pendekatan-pendekatan psikologi, salah satunya adalah humanistik, karena Pendekatan humanistik merupakan salah satu landasan dasar untuk lebih menghargai eksistensi anak apapun keadaannya. Khusus pada persoalan anak, adalah hal yang tidak mudah untuk menyampaikan tentang sikap masyarakat yang menolak kehadiran mereka. Ibarat buah simalakama, ketika status HIV anak dibuka, maka bisa jadi stigma yang ada akan semakin kuat dan perilaku diskriminatif juga semakin nyata. Namun apabila tidak disampaikan, maka dapat menimbulkan kerugian pada lingkungan di sekitar anak (terutama teman-teman bermain) si anak sendiri juga. Dari sini jelas bahwa stigma bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi apalagi ditanggulangi. Di dalam konseling pendekatan psikologi humanistik ini telah terdapat layanan VCT (Voluntary Counselling and Testing) yang dapat memberi dukungan kepada penderita baik secara medis, psikologis dan sosial. VCT merupakan pintu masuk menuju terapi dan perawatan. Setelah penderita mendapatkan informasi hasil tesnya dari klinik VCT, maka pada tahapan berikutnya, penderita akan mendapatkan dukungan perawatan berupa perawatan medis melaui terapi antiretroviral (ARV), pengobatan infeksi oportunistik , pelayanan gizi maupun dukungan psikologis serta akses layanan lainnya sesuai kebutuhan penderita. Layanan klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) dengan pendekatan prevensi merupakan pintu gerbang bagi pelayanan medik dimana konselor memberikan berbagai bentuk dukungan dan penanganan psikis bagi penderita HIV/AIDS.

d.      Kognitif
Untuk kasus terhadap beberapa siswa SMP swasta di Yogyakarta yang siswanya melakukan kecenderungan perilaku delinkuen, hal tersebut paling tepat ditangani dengan pendekatan konseling psikologi kognitif, karena untuk mengurangi kecenderungan perilaku delinkuen pada remaja, maka alternatif yang diberikan adalah intervensi melalui pendekatan kognitif. Penelitian ini difokuskan pada faktor kognisi yang diasumsikan sebagai salah satu penyebab perilaku delinkuen. Perspektif kognitif mengungkapkan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional. Pemikiran yang irasional dapat mendorong timbulnya gangguan emosi dan perilaku. Pendekatan kognitif efektif untuk mengembangkan perilaku positif dan mengurangi pemikiran irasional yang menimbulkan perilaku kriminal. Konselor mengarahkan dan membimbing subjek untuk mampu memahami tentang kenakalan remaja melalui pendekatan kognitif untuk mengurangi perilaku delinkuennya sehingga mereka dapat perlahan merubah perilakunya dan berusaha untuk berpikir positif, sehingga perilaku delinkuen yang dilakukan akan mengalami penurunan. Pendekatan kognitif akan diberikan di dalam kelompok, karena di dalam kelompok akan terjadi proses interaksi antar remaja. Melalui pendekatan kognitif diharapkan remaja mampu memperbaiki pola pikir negatif mereka, adanya pikiran baru akan mendorong mereka untuk tidak lagi secara emosional dan berperilaku delinkuen dalam menghadapi peristiwa dan menyelesaikan permasalahan kehidupan.

Referensi:
Achmat, Z, & Pramono, A. (2015). Intervention of Care Support Treatment which
Children with HIV/AIDS as the Target: A Humanistic Approach Model for Children and the Environment in Facing Stigma. Jurnal Perempuan dan Anak, 1, 1-7.

Hartati, S. (2012). Pendekatan Kognitif Untuk Menurunkan Kecenderungan Perilaku
Deliquensi Pada Remaja. Jurnal Psikologi Islam, 11, 123-146.

Sanyata, S. (2012). Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling.
Jurnal Paradigma, 7, 1-11.

Corey, Gerald. (1997). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
Refika Aditama.

Corsini, Raymond. (2003).  Psikoterapi Dewasa Ini. Surabaya: Ikon Teralitera.

Freud, Sigmund. (1984). Memperkenalkan Psikoanalisa Lima Ceramah. Jakarta:
Gramedia.

Corey, General. (2005). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
Refika Aditama.

Gunarsa, Singgih D. (2007). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.

Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung: Grafindo Persada.

Semium, Yustinus. (2006). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Kanisius.

Nevid, Jeffrey S, dkk. (2003). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.